Jumat, 19 Februari 2010

curhat

Entah ini kali keberapa saya kehilangan ke-akuan saya. Bingung. Saya merasa dipaksa untuk cepat dewasa dengan apa yang saya jalani sekarang ini. Ya, I’m 17 going to 18 dan sudah menduduki bangku kuliah semester 3, yang menjadikan saya dipanggil ‘adik’ oleh beberapa teman-teman seangkatan.

Tidak menyalahkan siapapun, tetapi saya merasa sangat sering kelelahan dengan semua ini. Saya ingin lebih kosong, tidak dipenuhi pertanyaan bagaimana caranya saya bisa selamat di banyak tempat. Tetap bisa menjadi diri saya walaupun saya harus berkutat dengan banyak jurnal praktikum dan tugas-tugas di tempat lain yang memang menjadi tanggung jawab saya.

Kali saya menulis ini belum memasuki masa perkuliahan. Saya belum bisa memastikan akan seperti apa hidup saya jika sudah mulai kuliah. Padat. Ini satu-satunya gambaran saya. Bisakah saya menghadapinya? Mulut saya mengatakan ‘bisa’ tetapi hati kecil saya perlahan-lahan mengikisnya, saya lupa memperhitungkan satu hal. Jarak. Memakan waktu juga memakan tenaga. Hal yang membuat salah satu rekan saya harus hengkang dari bidang yang amat sanagt dia gemari. Lalu bagaimana dengan saya? Ingin sekali saya mengulang saat-saat pengambilan keputusan agar tidak seperti ini jadinya. Kadang-kadang saya mengira diri saya terlalu rakus dalam mengambil pekerjaan. Mau bilang apa, saya ingin mencari pengalaman.

Satu hal yang akhirnya saya sadari di dalam kehidupan saya. Saya kehilangan waktu bersama keluarga yang tinggalnya jauh dari saya, tepatnya saya yang tinggal jauh dari keluarga. Ya, lagi-lagi jarak. Rute hidup saya adalah Karangasem-Bukit-Denpasar-
Bukit-Denpasar-………………………………-Karangasem. Perlu waktu yang lama untuk bisa kembali ke rumah lagi. Karena tidak ingin lelah dan ujungnya sakit. Tetapi sebenarnya saya sangat ingin berlama-lama di rumah. Saya ingat raut kecewa ibu saya ketika saya hanya bisa tinggal di rumah selama satu minggu sedangkan masa libur saya sangat panjang. Sungguh saya merasa bersalah telah membiarkan raut kecewa itu muncul. Sekarang saya menghitung waktu liburan, kurang dari sebulan dan saya masih belum sempat melakukan apa yang saya janjikan kepada ibu saya. Mungkin ibu tidak mempermasalahkan karena tahu kondisi saya, tetapi dalam hati saya merasa sangat bersalah. Kapan lagi saya bisa bersama ibu saya dalam waktu yang lama. Banyak sekali yang sudah dilakukannya untuk saya, bahkan sebelum saya memasuki fase bernama mahasiswa.

Saya ingat omongan adik saya ketika saya pulang ke rumah setelah Ujian Akhir “Liburnya lama ya, lama dong di rumah?” Saya jawab sejujurnya bahwa saya hanya sebentar di rumah dengan alasan saya ada kegiatan di kampus dan tidak mungkin saya bolak-balik Karangasem-Bukit. Dengan ketus dia menjawab “Kok suka sekali menyibukkan diri, kalo libur ya libur.” Saya terdiam. Bahkan saya tidak sempat melihat adik saya berubah dari seorang anak menjadi remaja, yang saya tahu adik saya masih anak kecil dan saya masih tidak terima bahwa kini dia sudah lebih tinggi dari saya –bukan ini intinya- dan sudah menduduki bangku SMA, hingga sekarang ini saya masih saja tidak percaya bahwa saya punya seorang adik yang sudah SMA, sama seperti saya 3 tahun lalu, itulah yang dilalui adik saya sekarang ini. Saat percakapan terakhir itulah saat terlama saya berada di rumah selama menjadi mahasiswa, ya hanya 2 minggu. Dua minggu itu saya bayar dengan membatalkan acara yang ada hubungannya dengan kampus, saat itu memang saya dilema, tetapi saya memang harus memilih dan saat itu saya memilih rumah saya.

Ketika akhirnya dapat berbincang lama dengan ayah. Ternyata uban di rambut ayah semakin banyak, mengapa saya tidak menyadarinya. Ternyata setiap hari ayah merawat kebunnya yang hanya saya kunjungi sekali saja bahkan dipaksa oleh adik saya, tetapi karena merasa terpaksa saya kecelakaan di perjalanan ke kebun baru kita. Sungguh emosi saat itu, saya sempat mengatakan itulah kali pertama dan terakhir saya mengunjungi tempat itu. Walaupun ayah akhirnya tahu saya jatuh setelah sebulan dari peristiwa itu saya jadi menyesal telah mengatakan untuk tidak datang lagi ke tempat itu. Mangingat lepuh kulit ayah, uban yang mulai unjuk rasa, dan sakit yang pernah dilalui ayah, saya merasa bersalah. MUNGKIN SAYA AKAN KESANA LAGI, SUATU SAAT NANTI.

Saya rindu saat kemarin, saat saya belum tinggal jauh dari orang tua saya. Saat kita berempat saling menunggu untuk makan malam bersama-sama. Saat kita berada di rumah Tuhan bersama-sama dan saling mengingATkan agar tidak berisik. Saat natab bersama di hari raya Galungan, membiasu sama-sama saat hari raya Nyepi, dan tidur berempat di kamar ayah. Saya sangat merindukan itu, rindu saat dibangunkan ayah untuk pindah tidur saat terlelap di ruang tipi. Rindu ketika saya digendong karena ketiduran ketika saya masih kecil. Rindu ketika saya membela adik saya saat masih satu sekolah di sekolah dasar. Merindukan masa yang sudah lamaaaaa sekali saya lewati.
Apakah saya sudah bisa dikatakan dewasa? Rasanya belum.SAtu hal yang saya tdak sukai ketika pulang ke kampung adalah sorot aneh yang diperlihatkan kepada saya, sulit mengenal mereka, kalo saja dahulu saya memulainya dengan baik? Entahlah, kesalahan sudah berakar. Kelemahan saya saat itu adalah, saya sanagt sulit memulai di lingkungan baru bila dipertemukan dengan orang yang setipe seperti saya. Entahlah apa namanya yang jelas teman terbaik saya selama pulang adalah mamaaaaaaa.

Kapan saya bisa melihat senyum ketiganya beriringan seiring senyumku dengan semua yang kumiliki sekarang?

Mendengar suara ibu dan adik saya sore ini sungguh membuat saya merasa ada di rumah, walaupun pembicaraan itu hanya berlangsung empat menit karena saya tahu di rumah sedang banyak orang. Walaupun adik saya menyela dengan menanyakan PR-nya kepada saya tetapi saya mengatasiny adengan gaya saya sendiri, sungguh Dik saya tidak kejam sama kamu, saya Cuma pengen kamu berusaha, bukan mengandalkan saya seperti ketika saya mengerjakan PR Biologi dan Matematika kamu.

Bercerita kembali hari ini, setelah bertemu kawan.
Hmmm masa sekolah dulu, masa masih menjadi SISWA. Apa bedanya dengan sekarang? Saya rasa masih sama, masih menuntut ilmu kepada guru yang kini kita sebut sebagi dosen.
Kawan, ketika masih bersama dulu pernahkan berpikir untuk menjadi seperti ini. Memiliki masa depan masing-masing, hidup terpisah dari orang tua, berusaha sendiri membunuh rindu entah dengan kekasih, sahabat, bahkan musuh sekalipun.
Pernah saat kita merajut masa depan bersama, pernahkah terpikir seperti ini.
Kawan, bahkan saya sering melupakan ulang tahun kalian, bahkan saya pernah tidak ingat nama kalian. Padahal hanya setahun berlalu.
Sungguh aku rindu kalian kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar